Wednesday, 20 July 2016

IMAM BUKHARI DAN DUA BADAI COBAAN YANG PERNAH MENERPANYA

IMAM BUKHARI DAN DUA BADAI COBAAN YANG PERNAH MENERPANYA


IMAM BUKHARI DAN DUA BADAI COBAAN YANG PERNAH MENERPANYA


Para ulama sepakat bahwa tidak ada kitab yang lebih shahih dan istimewa setelah kitab suci al-Qur’an melainkan kitab hadits Shahih Bukhari karya imam Bukhari, kemudian disusul oleh kitab hadits Shahih Muslim yang merupakan karya murid imam Bukhari yaitu imam Muslim bin Hajjaj al-Naisaburi (w. 261 H)

Nama imam Bukhari adalah: Muhammad bin Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah. Beliau berkuniah (bergelar) Abu Abdillah, namun lebih dikenal sebagai Imam Bukhari, lahir di Bukhara pada 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M).

Nama imam Bukhari begitu agung bagi seluruh umat Islam seagung karyanya yang fenomenal tersebut, namun tidak banyak orang yang tahu bahwa di dalam kehidupannya imam bukhari menjalani ujian yang sangat berat berupa fitnah dituduh sebagai ahli bid’ah orang yang sesat bahkan diboikot, orang-orang dilarang mendatangi pengajiannya.

Imam Bukhari juga mengalami dua kali pengusiran, yang pertama diusir dari kota al-Naisabur oleh ulama yang paling berpengaruh ketika itu, yaitu syaikh Muhammad bin Yahya adz-Dzuhli, padahal beliau sebenarnya merupakan guru imam Bukhari (ketika imam Bukhari masih muda). Yang kedua beliau diusir dari kota Bukhara yang merupakan tanah kelahirannya, kali ini yang mengusir beliau adalah amir (penguasa) daerah Bukhara.

Berikut ini sekelumit kisah cobaan dua jilid yang pernah menimpa imam Bukhari.

BADAI COBAAN JILID I

Setelah imam Bukhari menyelesaikan “rihlah ilmiahnya” (perjalanan menuntut ilmu) dan juga berhasil merampungkan penulisan kitab yang berisi kumpulan hadits-hadits shahih  yang beliau beri nama "Al-Jami’ As-Shahih Al-Musnad min Haditsi Rasulillah shallallahu ‘alaihi wassalam wa Sunanihi wa Ayyamihi (namun kemudian lebih dikenal sebagai kitab Shahih Bukhri), maka pada tahun 205 H, imam Bukhari pergi ke kota Naisabur, yang merupakan tanah pusat Sunnah ketika itu dan sekaligus tanah kelahiran muridnya (imam Muslim).

Kebetulan saat itu di ketika itu di Naisabur ada ulama besar yang juga merupakan salah satu guru imam Bukhari, yaitu Muhammad bin Yahya ad-Dzuhli (syaikh ad-Dzuhli).

Kedatangan imam Bukhari di Naisabur disambut gembira oleh seluruh lapisan masyarakatnya, bahkan syaikh ad-Dzuhli mengajak murid-muridnya untuk turut serta menyambut kedatangan imam Bukhari murid kebanggaannya itu. Syaikh Adz-Dzuhli mengumumkan secara khusus di majelis ilmunya dengan menyatakan: “Barangsiapa ingin menyambut Muhammad bin Ismail (imam Bukhari) besok, silakan menyambutnya karena aku akan menyambutnya.” Maka masyarakat luas pun bergerak mengadakan persiapan untuk menyambut kedatangan Imam besar Ahli Hadits di kota mereka.

Di hari kedatangan imam Bukhari itu, ribuan penduduk Naisabur bergerombol di pinggir kota untuk menyambutnya. Di antara yang berkerumun menunggu kedatangan beliau itu ialah syaikh adz-Dzuhli bersama para ulama lainnya. Diriwayatkan oleh Muhammad bin Ya’qub al-Akhram bahwa ketika imam Bukhari sampai di pintu kota Naisabur, yang menyambutnya sebanyak empat ribu orang berkuda, di samping yang menunggang keledai dan himar serta ribuan pula yang berjalan kaki.”

Imam Muslim bin al-Hajjaj menceritakan: “Ketika imam Bukhari datang ke Naisabur, semua pejabat pemerintah dan semua ulama menyambutnya di batas negeri.”

Ketika imam Bukhari sampai di Naisabur, para penduduk menyambutnya dengan penyambutan yang demikian besar dan agung. Beribu-ribu orang berkerumun di tempat tinggal beliau setiap harinya untuk menanyakan kepada beliau berbagai masalah agama dan khususnya berbagai kepelikan tentang hadits.

Akibatnya berbagai majelis ilmu para ulama yang lainnya menjadi sepi pengunjung. Dari sebab ini mungkin timbul ketidak-enakan di hati sebagian ulama itu terhadap imam Bukhari.

Pada awalnya semua berjalan dengan baik, imam Bukhari menetap di Naisabur selama beberapa waktu dan terus beraktifitas mengajarkan hadits. Majelis ilmu imam Bukhari direstui oleh syaikh adz-Dzuhli, bahkan beliau mengatakan kepada murid-muridnya, “Pergilah kalian kepada lelaki salih dan berilmu ini (imam Bukhari), supaya kalian bisa mendengar ilmu darinya.” Setelah itu, orang-orang pun berduyun-duyun mendatangi majelis imam Bukhari untuk mendengar hadits darinya. Sampai, suatu ketika muncul ‘masalah’ di majelis syaikh ad-Dzuhli, dimana orang-orang yang semula mendengar hadits di majelisnya berpindah ke majelisnya imam Bukhari.

Ahmad bin ‘Adi menuturkan kisah dari guru-gurunya, bahwa kehadiran Imam Bukhari di kota itu membuat sebagian guru yang ada di masa itu merasa hasad/dengki terhadap beliau. Kedengkian mereka itu kemudian berbuah menjadi fitnah, mereka menuduh  imam Bukhari berpendapat bahwa al-Qur’an yang dilafalkan (dibaca) adalah makhluk. Padahal saat itu umat Islam pendukung Sunnah sedang berada dalam euphoria atas kemenangan ahlus Sunnah yang dipelopori imam Ahmad bin Hambal yang meyakini bahwa al-Qur’an adalah “kalamullah” bukan makhluk, mengalahkan faham Mu'tazilah yang meyakini bahwa al-Qur’an adalah makhluk.

Di mana faham sebelumnya faham Mu’tazilah adalah faham yang dijadikan satu-satunya ideology yang oleh khalifah diwajibkan untuk menjadi pegangan para ulama, para ulama yang tidak menerima bahwa al-Qur’an adalah makhluk dihukum penjara dan disiksa berupa cambuk dan siksaan-siksaan berat lainnya.

Suatu ketika di saat imam Bukhari sedang menyampaikan ilmu dalam majelisnya, muncullah orang yang menanyakan kepada beliau mengenai masalah melafalkan al-Qur’an. Orang itu berkata, “Wahai Abu Abdillah (imam Bukhari), apa pandanganmu mengenai ayat al-Qur’an yang dilafalkan; apakah ia makhluk atau bukan makhluk?”.

Setelah mendengar pertanyaan itu, Bukhari berpaling dan tidak mau menjawab sampai tiga kali pertanyaan. Orang itu pun memaksa, dan pada akhirnya Bukhari menjawab,“al-Qur’an adalah Kalam Allah, bukan makhluk. Sementara perbuatan hamba adalah makhluk. Dan menguji seseorang dengan pertanyaan semacam ini adalah bid’ah.

Yang menjadi sumber masalah adalah tatkala orang itu secara sembrono menyimpulkan, “Kalau begitu dia (imam Bukhari) berpendapat bahwa al-Qur’an yang aku lafalkan adalah makhluk.” Dalam riwayat lain, Bukhari menjawab, “Perbuatan kita adalah makhluk. Sedangkan lafal kita termasuk perbuatan kita.”

Hal itu menimbulkan berbagai persepsi di antara hadirin. Ada yang mengatakan, “Kalau begitu menurut imam Bukhari al-Qur’an yang saya lafalkan adalah makhluk.” Sebagian yang lain membantah, “Beliau tidak mengatakan demikian.” Akhirnya, timbullah kesimpang-siuran dan kesalahpahaman di antara para hadirin.

Tatkala kabar yang tidak jelas ini sampai ke telinga adz-Dzuhli, beliau pun berkata (ditujukan kepada imam Bukhari): “Al-Qur’an adalah kalam Allah, bukan makhluk. Barangsiapa yang menganggap bahwa al-Qur’an yang saya lafalkan adalah makhluk maka dia adalah ahli bid’ah. Tidak boleh bermajelis (mengaji) kepadanya, tidak boleh berbicara dengannya.

Bahkan tidak cukup di situ, kemudian syaikh ad-Dzuhli memboikot pengajian imam Bukhari dengan membuat pengumuman: “Barangsiapa yang setelah ini pergi kepada Muhammad bin Isma’il (imam Bukhari) maka curigailah dia. Karena tidak ada yang ikut menghadiri majelisnya kecuali orang yang sepaham dengannya.”

Semenjak munculnya ketegangan di antara adz-Dzuhli dan Bukhari ini maka orang-orang pun bubar  meninggalkan majelis imam Bukhari kecuali Muslim bin Hajjaj (imam Muslim) dan Ahmad bin Salamah.

Saking kerasnya permasalahan ini sampai-sampai syaikh ad-Dzuhli menyatakan: “Ketahuilah, barangsiapa yang ikut berpandangan tentang lafal (sebagaimana Bukhari), maka tidak halal hadir dalam majelis (pengajian) kami.”

Mendengar hal itu, imam Muslim berdiri di hadapan orang banyak mengambil selendangnya dan meletakkannya di atas serbannya, kemudian dikirimkannya (dikembalikan) semua catatan riwayat (hadits) yang ditulisnya dari syaikh ad-Dzuhli di atas punggung seekor unta.

Semakin hari kebencian Ad-DZuhli kepada imam Bukhari semakin menjadi-jadi, sehingga ia benar-benar telah murka kepada imam Bukhari, kemudian ia berkata: “Lelaki itu (Bukhari) tidak boleh tinggal bersamaku di negeri (Naisabur) ini.” Oleh karena Imam Bukhari berpendapat bahwa keluar dari negeri itu lebih baik, demi menjaga dirinya, dengan harapan agar fitnah yang menimpanya itu dapat mereda, maka ia pun memutuskan untuk keluar dari negeri tersebut.

COBAAN JILID II

Dari Naisabur, imam Bukhari pulang ke tanah-airnya sendiri, Bukhara. Kedatangannya disambut meriah oleh seluruh penduduk. Untuk keperluan itu, mereka mengadakan upacara besar-besaran, mendirikan kemah-kemah sepanjang satu farsakh (± 8 km) dari luar kota dan menabur-naburkan uang dirham dan dinar sebagai bentuk kegembiraan mereka. Selama beberapa tahun menetap di negerinya itu, ia mengadakan majelis pengajian dan pengajaran hadits.

Tetapi kemudian badai fitnah datang lagi. Kali ini badai itu datang dari amir (penguasa) Bukhara sendiri, Khalid bin Ahmad az-Zihli, walaupun sebabnya timbul dari sikap Imam Bukhari yang terlalu memuliakan ilmu yang dimlikinya. Ketika itu, Khalid bin Ahmad sebagai amir Bukhara, mengirimkan utusan kepada imam Bukhari, dengan membawa perintah supaya imam Bukhari mengirimkan kepadanya dua buah karangannya, al-Jami’ al-Sahih dan Tarikh.

Imam Bukhari keberatan memenuhi permintaan itu. Ia hanya berpesan kepada utusan itu agar disampaikan kepada amir (Khalid bin Ahmad), bahwa “Aku tidak akan merendahkan ilmu dengan membawanya ke istana (tempat tinggal amir). Jika hal ini tidak berkenan di hati tuan amir, tuan adalah penguasa, maka keluarkanlah larangan supaya aku tidak mengadakan majelis pengajian. Dengan begitu, aku mempunyai alasan di sisi Allah kelak pada hari kiamat, bahwa sebenarnya aku tidak menyembunyikan ilmu.

Mendapat jawaban seperti itu, sang amir naik pitam, ia memerintahkan orang-orangnya agar melancarkan hasutan yang dapat memojokkan Imam Bukhari. Dengan demikian ia mempunyai alasan untuk mengusir imam Bukhari. Tak lama kemudian Imam Bukhari pun diusir dari tanah kelahirannya sendiri, Bukhara.

Imam Bukhari, kemudian mendo’akan tidak baik atas Khalid yang telah mengusirnya secara tidak sah. Belum sebulan berlalu, Khalifah Ibn Tahir yang merupakan atasan bagi Khalin bin Ahmad memerintahkan agar Khalid bin Ahmad dijatuhi hukuman, dipermalukan di depan umum dengan menungang keledai betina (sebagai lambang penghinaan). Maka hidup sang penguasa yang dzalim kepada Imam Bukhari itu berakhir dengan kehinaan dan di penjara

WAFAT DALAM KESEDERHANAAN

Selanjutnya, suatu ketika penduduk Samarkand mengirim surat kepada imam Bukhari. Isinya adalah, meminta agar imam Bukhari berkenan menetap di negeri itu (Samarkand). Ia pun pergi memenuhi permohonan mereka. Ketika perjalanannya sampai di Khartand, sebuah desa kecil terletak dua farsakh (sekitar 10 Km) sebelum Samarkand, ia singgah terlebih dahulu untuk mengunjungi beberapa familinya. Namun disana beliau jatuh sakit selama beberapa hari.

Akhirnya imam Bukhari meninggal pada tanggal 31 Agustus 870 M (256 H) pada malam Idul Fitri dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Beliau dimakamkan selepas Shalat Dzuhur pada Hari Raya Idul Fitri. Sebelum meninggal dunia, ia berpesan bahwa jika meninggal nanti jenazahnya agar dikafani tiga helai kain, tanpa baju dalam dan tidak memakai sorban. Pesan itu dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat setempat. Imam Bukhari meninggal tanpa meninggalkan seorang anakpun.

Moral of the Story:

Tidak ada ulama yang tidak tertimpa cobaan dalam perjalanan dakwahnya, fitnah dan tuduhan-tuduhan keji dari orang-orang yang hasad terkadang dari orang yang dekat dengannya adalah perkara biasa yang terjadi dalam kehidupan ulama:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ.
“Dan niscaya sungguh kami akan menguji kalian dengan sesuatu (ujian) berupa, rasa takut, kelaparan, kekurangan harta dan diri serta buah-buahan, dan berilah kabar gembira bagi orang-orang yang bersabar.” QS. Al-Baqarah: 155
Share:

0 komentar: